Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.
Pengertian sebenarnya adalah merupakan
penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan
manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah.
Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik
ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh
lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk
ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam),
manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya;
dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu salat karena
dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan).
Hal-hal
tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam
menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak
disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang
mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu
wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam
akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah
Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak
pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai
ulama alim.
Dalam dunia tasawuf,
sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat.
Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan
ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat
ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan
oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi
tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan
Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi
Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh
hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya
memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah
seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan,
ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang
dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat
ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan
penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup
kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku
Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal
tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan
hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara
pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu
syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan
ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk
disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang
mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang.
Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan
tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda
pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud
di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al
Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah
tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan
dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi
tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah
pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq
berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah.
Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara
ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang
terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan
karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al
Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq)
kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat
pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al
Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk
diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat
pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang
menerimanya.
Komentar
Posting Komentar
Sebelum di tutup, Coment dulu dong.... hehehe